Lompat ke isi utama

Berita

KEMERDEKAAN SEJATI TAK DATANG DARI GOLPUT

Logo HUT RI ke- 80

Kuala Kapuas, Muhammad Renaldy Maulana Anwar - Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, suasana nasionalisme mulai terasa di berbagai sudut negeri. Bendera Berkibar Di Setiap Perkarangan Rumah, lagu-lagu beraroma nasionalisme terdengar di pusat-pusat perbelanjaan dan aneka lomba digelar di gang-gang sempit hingga kantor-kantor pemerintah. Suasana khas kemerdekaan seperti ini selalu berhasil membangkitkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

Namun di tengah semua kemeriahan itu, ada satu pertanyaan yang layak kita renungkan bersama: sudahkah kita benar-benar merdeka?. Berbica tentang kemerdekaan, maka setiap orang pasti mempunyai makna tersendiri, begitu pula dengan penulis. Apabila mendengar arti kemerdekaan satu kata yang langsung teringat adalah kata “kebebasan”. Dulu kita pernah terjajah dan di paksa bungkam oleh kedaan yang tidak adil. Kini, setelah merdeka, kita punya hak untuk menyampaikan suara, menyatakan sikap, dan ikut serta dalam menentukan siapa yang pantas memimpin negeri. Dalam konteks ini bila dikaitkan dengan pemilihan umum, maka kebebasan itu di dimaknai bebas dalam partisipasi politik yaitu menggunakan hak pilih. Sebuah hak yang bukan hadiah, tapi buah dari perjuangan panjang para pendahulu kita. Konstitusi pun sudah menegaskan, melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945:

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”[1]

Sayangnya, tidak semua orang memaknai kemerdekaan sebagai panggilan untuk ikut berperan dalam demokrasi. Bahwa semngat 17 agustus harusnya dapat kita ambil  semngatnya 

            Sayangnya, tak semua orang menganggap hak pilih sebagai hal yang penting. Golput atau tidak menggunakan hak pilih masih menjadi fenomena yang cukup mencemaskan. Entah karena kecewa, apatis, atau merasa tidak ada calon yang layak, sebagian dari kita memilih untuk tidak memilih. Padahal, setiap suara yang tidak digunakan adalah celah yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang tak sungguh-sungguh ingin membawa perubahan. Hal ini di amin kan oleh Sahbana dalam jurnalnya yang menjelaskan “Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara.[2]

Perlu diingat, golput memang tidak melanggar hukum. Tapi, diam bukan berarti netral. Kadang, diam justru memberi ruang bagi kekuatan yang tak sehat untuk mengambil alih kendali. Dikutip dari buku Indeks Partisipasi Pemilu, Data pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Bahwa diketahui tingkat partisipasi pemilih secara nasional menunjukkan partisipasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 81,48%, partisipasi Pemilu DPR RI sebanyak 81,14%, dan partisipasi Pemilu DPD RI sebanyak 81,50% Jumlah itu lebih rendah dari partisipasi Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2019 yang diikuti 81,97 persen pemilih. Namun di daerah-daerah, capaian ini tidak selalu seragam. Di Kalimantan Tengah, misalnya, partisipasi pemilih hanya mencapai 78.61%, angka yang menunjukkan di bawah rata-rata nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa masih ada ruang besar bagi peningkatan partisipasi politik, terutama di daerah. masih banyak ruang kosong yang belum terisi oleh suara rakyat.[3]

Dari sudut pandang undang-undang (UU), golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum dianggap sebagai hak yang dijamin oleh prinsip kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam proses demokratis. Namun, meskipun golput dipandang sebagai hak, UU juga menetapkan kewajiban bagi warga negara untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam proses demokrasi.[4] Dalam konteks Indonesia, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa setiap warga negara yang memenuhi syarat wajib menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu, dari perspektif UU, golput dapat dilihat sebagai tindakan yang bertentangan dengan kewajiban warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.[5]

Menurut Ristania Tri Widiarti dkk. Dalam jurnalnya menuliskan, partisipasi pemilih mengalami penurunan signifikan pada Pemilu 2024. Secara nasional Dari 204.807.200 pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 164.227.475 yang menggunakan hak pilihnya secara sah. Artinya, ada lebih dari 40 juta pemilih yang tidak memilih atau golput, dengan tingkat golput mencapai 20,18%.[6] 

Banyak alasan yang sering kita dengar: “nggak ada yang bisa dipercaya”, “sama aja semua”, atau “percuma milih, hasilnya pasti begitu-begitu saja”, mungkin bahkan ada kata terlontar “siapapun yang jadi, tetap kalo mau cari uang ya harus kerja sendiri juga!” Alasan-alasan ini mungkin lahir dari kekecewaan yang nyata. Tapi jika terus dibiarkan, sikap ini hanya akan memperkuat lingkaran masalah yang membuat politik kita stagnan. Diam bukan solusi. Golput bukan bentuk protes, melainkan pengabaian terhadap tanggung jawab sebagai warga negara.

PSU Barito Utara: Momentum Pemilih Muda Berdampak

Kita sedang berada dalam momen penting yang jarang terjadi. Di Kabupaten Barito Utara, akan dilangsungkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan adanya pelanggaran pemilu yang serius melalui Putusan MK Nomor 313/PHPUBUP-XXIII/2025. Dua paslon yang sebelumnya bersaing, terbukti melakukan kecurangan. Terlepas dari kontroversi yang menyertai, PSU ini adalah bentuk tanggung jawab negara untuk mengembalikan suara rakyat ke jalur yang benar.

Menurut laporan Kalteng Pos edisi 5 Agustus 2025, 

“Distribusi logistik PSU sudah siap untuk menjangkau 114.980 pemilih yang tersebar di 270 TPS, 103 desa, dan 9 kecamatan.”[7]

Kesiapan logistik ini menjadi sinyal bahwa negara melalui lembaga penyelenggara Pemilu serius melaksankan tugasnya, untuk memastikan semua sarana tersedia agar proses berjalan lancar, dari distribusi kotak suara hingga pelaksanaan pencoblosan pada tanggal 6 agustus 2025. Yang kita harapkan kini adalah satu hal penting, tidak ada lagi kecurangan seperti sebelumnya.

Di titik inilah peran pemilih muda sangat menentukan. PSU Barito Utara bukan hanya perbaikan administratif, tapi momentum koreksi demokrasi. Dengan ikut memilih secara sadar, kritis, dan bertanggung jawab, anak muda bisa menjadi garda terdepan dalam memastikan pemilu kali ini benar-benar bersih, adil, dan bermartabat. Tak hanya menggunakan hak pilih, generasi muda juga perlu aktif mengawasi jalannya proses melalui pengawasan partisipatif. Dengan begitu, seluruh suara terjaga dan seluruh tahapan berjalan sebagaimana mestinya jujur, transparan, dan bebas dari kecurangan.

Hal ini sebagaimana terang tertuang dalam Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengawasan Partisipatif, tepatnya pada pasal Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

“Pengawasan Partisipatif dilaksanakan oleh masyarakat secara sukarela dan bertanggung jawab untuk mewujudkan pemilu yang demokratis.”[8]

Maka dari itu Datang ke TPS dan memilih bukan hanya tindakan sederhana, tapi bentuk nyata keberanian. Berani menentukan pilihan sendiri. Berani menolak calon yang terbukti curang. Berani menjadi bagian dari perubahan. Jangan biarkan bilik suara kosong. Karena kekosongan itu bisa diisi oleh suara-suara yang tak kita kehendaki. Dalam demokrasi, ketika yang baik diam, yang buruk bisa menang bukan karena lebih kuat, tapi karena dibiarkan. Pemilu Ulang ini bukan sekadar pelaksanaan teknis. Ia adalah ujian kematangan demokrasi kita.

Penutup

Tahun ini kita merayakan 80 tahun kemerdekaan. Tapi apakah cukup dengan lomba makan kerupuk dan upacara pagi hari?, Tentu saja tidak!. Kemerdekaan yang sejati adalah ketika kita menggunakan kebebasan kita untuk hal yang berarti salah satunya, menggunakan hak pilih. Jangan biarkan kemerdekaan yang dulu diperjuangkan para pahlawan, kita abaikan hanya karena rasa malas atau apatis.

Seperti yang pernah dikatakan Mohammad Hatta:

“Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.”

Karena itu, mari rayakan kemerdekaan ini bukan hanya dengan sorak sorai dan bendera, tapi juga dengan keputusan sadar untuk tidak golput. Sebab suara kita adalah bentuk tanggung jawab kita kepada negeri ini. Dan ingat kemerdekaan sejati tak datang dari golput.

Sumber:

[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

[2] Sahbana.2017. “Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaanpemilihan Umum”. Artikel jurnal: Warta Edisi : 51. Hlm. 7;

[3] KPU Ri. 2024. “Indeks Partisipasi Pemilu Pada Pemilihan Umum Tahun 2024”. Jakarta. Hlm. 5;

[4] Ghaitsa Zahira Shofa, Ristania Tri Widiarti, Rochmawati Ing Lestari, Nur Hasanah .2024.”Kenaikan Angka Golput pada Pemilu 2024: Menurunnya Partisipasi Masyarakat dalam Menggunakan Hak Pilih”. artikel jurnal: Jisosepol: Jurnal Ilmu Sosial Ekonomi Dan Politik Vol. 2, No. 1. Hlm. 114;

[5] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109);

[6] Ghaitsa Zahira Shofa, Ristania Tri Widiarti, Rochmawati Ing Lestari, Nur Hasanah .Op.Cit.  hlm. 112;

[7] Koran Kalteng Pos edisi 5 Agustus 2025;

[8] Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengawasan Partisipatif.

Penulis : Muhammad Renaldy Maulana Anwar

Editor : Bawaslu Kabuapten Kapuas