80 Tahun Legislatif Indonesia, Antara Kontroversi dan Solusi
|
Kuala Kapuas, Muhammad Renaldy Maulana Anwar - Pada 29 Agustus 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi berusia 80 tahun.[1] Lembaga ini berakar dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945 dan sejak awal memiliki posisi penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut prinsip trias politica: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.[2] Selain itu, Pasal 20 A ayat (1) menyebutkan bahwa DPR memiliki tiga fungsi utama:
1. Fungsi legislasi – membentuk undang-undang bersama Presiden.
2. Fungsi anggaran – membahas dan memberikan persetujuan atas rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
3. Fungsi pengawasan – mengawasi pelaksanaan undang-undang serta kebijakan pemerintah.
Fungsi-fungsi tersebut diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menempatkan DPR sebagai lembaga representasi rakyat dengan kewajiban menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, Pada dasarnya Nurul Huda menerangkan di dalam bukunya definisi kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang diberikan kepada suatu badan untuk membentuk suatu undang.undang. Lembaga yang diberi kekuasaan legislatif berperan untuk membuat segala peraturan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.[3]. Namun, antara fungsi ideal dan kenyataan seringkali terdapat kesenjangan. Alih-alih menjadi ruang artikulasi kepentingan rakyat, DPR kerap dinilai jauh dari aspirasi publik. Ketegangan inilah yang kemudian tampak jelas pada momen ulang tahun DPR ke-80.
Kronologi Demonstrasi Agustus 2025
Perayaan usia ke 80 tahun DPR justru dibayang-bayangi gelombang demonstrasi besar yang pecah pada akhir Agustus 2025. Untuk memahami akar persoalan, perlu melihat bagaimana kronologi aksi berkembang dalam lima hari krusial, 25–29 Agustus 2025.[4]
25 Agustus 2025 – Aksi Awal di Jakarta
Gelombang demonstrasi pertama meletus di Jakarta, tepatnya di sekitar kompleks DPR/MPR Senayan. Ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, pekerja, serta pengemudi ojek daring menuntut pembatalan kenaikan tunjangan DPR. Isu yang memicu amarah rakyat adalah tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, di luar gaji dan fasilitas lain. Jika ditotal, pendapatan anggota DPR bisa menembus Rp100–230 juta per bulan. Angka ini dianggap mencolok karena:
1. Sangat timpang dibandingkan UMP/UMK buruh dan pekerja informal, meskipun kita mengetahui bersama beban dan tanggung jawab DPR yang lebih besar.
2. Tidak sebanding dengan kualitas legislasi DPR yang sering absen atau dianggap tidak produktif.
3. Diputuskan di tengah keluhan publik di saat kondisi ekonomi sedang tidak baik. Protes di hari pertama masih relatif terkendali, meskipun blokade jalan dan aksi bakar ban sudah terlihat di beberapa titik.
27–28 Agustus 2025 – Meluas ke Daerah
Isu tunjangan DPR cepat menyebar melalui media sosial. Demonstrasi tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi juga di Bandung, Makassar, dan Mataram. Di daerah, protes bersatu dengan keluhan lokal seperti naiknya tarif transportasi, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah daerah yang dianggap hanya menjadi “perpanjangan tangan” pusat. Ketegangan antara massa dengan aparat mulai terlihat. Polisi menambah pasukan anti huru-hara, sementara sebagian demonstran membawa molotov, bambu runcing, hingga merusak fasilitas umum. Potensi benturan semakin besar.
29 Agustus 2025 – Titik Ledak
Puncak eskalasi terjadi tepat di hari ulang tahun DPR, 29 Agustus 2025. Alih-alih diperingati dengan syukuran, suasana di berbagai kota berubah mencekam.
Jakarta
Aksi massa besar di Senayan berubah ricuh setelah kendaraan taktis polisi melindas seorang pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan. [5] Peristiwa ini terekam video dan viral di media sosial, menjadi simbol ketidakadilan aparat terhadap rakyat kecil. Dampaknya fatal: protes yang semula ditujukan pada DPR bergeser menjadi konflik rakyat vs aparat keamanan. Massa marah melakukan pembakaran halte Senayan, penjarahan toko, bahkan rumah beberapa anggota dewan dan menteri keuangan Sri Mulyani ikut dirusak dan di jarah harta bendanya.[6]
Makassar
Massa membakar gedung DPRD. Tiga aparatur sipil negara (ASN) tewas terjebak api. Berdasarkan data, tiga orang korban tewas tersebut yakni Sarinawati, 26 tahun, perempuan, Staf DPRD Makassar. Ia ditemukan tim evakuasi dalam kondisi hangus terbakar dan telah dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara. Selanjutnya, Syaiful, 43 tahun, laki-laki, Staf Kecamatan Ujung Tanah. Ia meninggal di rumah sakit. Korban terakhir, Abay, laki-laki, staf DPRD Makassar, meninggal di lokasi kejadian ditemukan dalam kondisi hangus terbakar. Jenazahnya dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara. sementara seorang pengemudi ojol dianiaya hingga meninggal dunia karena di anggap sebagai intel yang sedang menyamar. Total korban jiwa di Makassar: empat orang.[7]
Jatuh Korban Dari Kubu Aparat
Polisi melaporkan setidaknya 31 anggotanya yang terluka, menurut data kondisi para korban beragam. dari luka ringan hingga ada yang cukup parah sehingga memerlukan tindakan operasi. Pemberitaan ini menunjukkan betapa seriusnya benturan yang terjadi. Jumlah ini bisa saja bertambah dengan seiringnya masuk laporan dari tim medis.[8]
Yang lebih berbahaya, kerusuhan kemudian merambah ke ranah kriminal ketika sejumlah toko milik warga ikut dijarah. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana protes terhadap DPR yang semula berangkat dari rasa ketidakadilan ekonomi dapat bergeser menjadi konflik horizontal. Dari kronologi tersebut tampak pola klasik konflik sosial-politik: pemicu awal berupa kebijakan tunjangan rumah DPR yang dianggap tidak adil, kegagalan pengesahan RUU Perampasan Aset, meningkatnya beban pajak yang disetujui legislator, hingga pernyataan-pernyataan kontroversial serta gaya hidup mewah yang sangat kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat.[9] Semua itu merupakan sebagian kecil faktor yang nyata-nyata terakumulasi menjadi kekecewaan publik akibat menurunnya kinerja DPR di tengah kesulitan hidup rakyat.
Kemarahan mencapai puncaknya ketika para wakil rakyat yang seharusnya menemui massa justru kabur ke luar negeri tanpa alasan jelas.[10] Situasi semakin memanas setelah tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang tertabrak kendaraan taktis aparat. Tragedi ini menjadi “trigger” yang memicu gelombang amarah massal. Akibatnya, isu yang awalnya terbatas pada kebijakan legislatif melebar menjadi perlawanan terhadap aparat, bahkan menyentuh dimensi konflik horizontal dan pelanggaran hukum yang lebih luas.
Transformasi dari aksi unjuk rasa menjadi krisis nasional dengan korban jiwa dan kerugian material besar ke segala lini, jika hal ini tidak segera di tanggulangi maka akan berdampak sangat amat besar dikemudian hari. Dalam perspektif hukum tata negara, eskalasi ini menguji sejauh mana konstitusi mampu mengelola konflik sosial tanpa harus jatuh pada penggunaan instrumen keadaan bahaya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya memberi Presiden wewenang menetapkan status darurat sipil, darurat militer, hingga keadaan perang [2]. Namun, konsekuensi dari langkah itu adalah pembatasan hak-hak sipil rakyat secara luas.
Di tengah eskalasi yang mengkhawatirkan, Presiden didampingi pimpinan lembaga negara serta para ketua umum partai politik mengumumkan langkah-langkah tegas. Ada tiga poin utama:[11]
1. Partai politik wajib mencabut keanggotaan DPR yang membuat pernyataan buruk dan merusak martabat lembaga.
2. Tunjangan rumah Rp50 juta per bulan dicabut, sehingga tidak lagi berlaku bagi anggota DPR.
3. Moratorium perjalanan ke luar negeri diberlakukan bagi seluruh anggota DPR sampai situasi politik kembali kondusif.
Presiden menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kebebasan berbicara. Hak ini dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, diperkuat oleh Pasal 28F yang menegaskan hak memperoleh serta menyampaikan informasi [12]. Jaminan ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum [13].
Lebih jauh, Indonesia telah mengikatkan diri pada hukum internasional melalui ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) lewat UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik). Pasal 19 ICCPR menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi”. [14] Namun, Presiden juga mengingatkan bahwa kebebasan tersebut tidaklah absolut. Aksi penyampaian pendapat harus dilakukan secara damai, sebab jika praktiknya berubah menjadi anarkis dengan melahirkan kekerasan, perusakan, dan korban jiwa, maka negara berkewajiban menindak tegas demi menjaga ketertiban umum. Dalam konteks inilah, eskalasi konflik tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga di ruang digital. Sejumlah akun anonim dan tidak bertanggung jawab di media sosial mulai meniupkan isu makar, provokasi anarkis, bahkan narasi bahwa “pemerintah sudah bobrok.” Isu-isu ini menyebar cepat, memperkuat ketegangan, dan mendorong munculnya wacana ekstrem bahwa negara harus mengambil langkah darurat.[15] Meski terdapat instrumen hukum berupa Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya[16], opsi menetapkan darurat militer bukanlah solusi ideal dan kebijakan yang populer untuk di terapkan. Sejarah membuktikan, pemberlakuan status darurat sering kali justru menimbulkan represi politik, pembatasan kebebasan sipil, dan membuka jalan bagi otoritarianisme.
Dalam kerangka hukum internasional, Pasal 4 ICCPR memang memperbolehkan pembatasan hak-hak tertentu dalam keadaan darurat, tetapi ada hak-hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun seperti hak hidup, larangan penyiksaan, dan kebebasan beragama. Dalam situasi darurat, negara memiliki kewenangan untuk membatasi beberapa hak asasi manusia, tetapi pembatasan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.[17] Lebih lanjut, itu sebabnya setiap upaya menormalisasi darurat militer untuk meredam demonstrasi harus dipandang dengan kewaspadaan tinggi.
Di titik inilah peran politik hukum menjadi relevan. Politik hukum sebagai cabang ilmu mengajarkan bahwa hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan juga produk kebijakan politik (legal policy) yang sarat kepentingan penguasa, sederhananya kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan [18]. Lebih lanjut, penanganan konflik sosial bukan hanya soal kepastian hukum, melainkan bagaimana hukum digunakan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan warga dan stabilitas negara. Oleh sebab itu, pilihan politik hukum dalam merespons krisis demonstrasi tidak boleh terjebak dalam logika darurat militer. Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi hukum yang menegakkan ketertiban tanpa mengorbankan kebebasan dasar rakyat.
Krisis legitimasi DPR bukanlah fenomena instan. Survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2025 menunjukkan DPR hanya dipercaya (69 persen), jauh di bawah Presiden (97 persen) dan TNI (94 persen). Angka ini menegaskan bahwa publik semakin kehilangan keyakinan terhadap parlemen sebagai lembaga representasi rakyat. DPR kian dipersepsikan bukan sebagai penyambung aspirasi masyarakat, melainkan sekadar arena konsolidasi kepentingan elit politik.[19].
Berbagai faktor berkontribusi pada krisis ini, mulai dari fungsi pengawasan yang lemah, dominasi oligarki partai, keterwakilan yang minim, hingga absennya pendekatan berbasis publik. Namun, akar paling serius yang merusak integritas demokrasi justru sudah muncul sejak pintu masuk ke parlemen, yaitu pemilu legislatif (Pileg). Proses itu kerap diwarnai praktik money politics dalam bentuk vote buying pertukaran suara rakyat dengan uang tunai, sembako, atau janji material jangka pendek.
Budaya transaksional semacam ini menjadikan kursi parlemen dipersepsikan bukan sebagai mandat rakyat, melainkan sebagai “investasi politik” yang harus menghasilkan keuntungan balik. Dari sinilah lahir tuntutan kenaikan tunjangan fantastis demi menutup biaya politik yang telah dikeluarkan.
Secara normatif, politik uang sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan ancaman pidana hingga empat tahun. Tetapi aturan ini jarang memberi efek jera. Laporan politik uang yang masuk ke Bawaslu hampir selalu berhenti di meja administrasi, jarang berlanjut ke pengadilan. Hambatan pembuktian, keterbatasan kewenangan, dan resistensi politik membuat pasal larangan tersebut tak lebih dari “macan kertas”.
Dari perspektif politik hukum, vote buying jelas bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk korupsi elektoral korupsi terhadap mandat rakyat. Karena itu, sudah seharusnya ia diperlakukan dengan standar hukum antikorupsi. Jika politik uang direkonstruksi sebagai tindak pidana korupsi, maka KPK dapat masuk dengan kewenangan penuh: penyadapan, penelusuran aliran dana, hingga penindakan terhadap partai politik yang menikmati hasil praktik curang tersebut.
Dengan kerangka ini, penyelesaian akar krisis DPR tidak cukup dengan retorika moral, tetapi harus menyentuh jantung persoalan menghentikan politik uang yang telah membajak demokrasi Indonesia. Ulang tahun DPR yang ke 80 seharusnya menjadi momentum reflektif, tetapi justru berubah menjadi krisis sosial-politik yang memperlihatkan rapuhnya legitimasi parlemen. Demonstrasi besar, korban jiwa, hingga aksi penjarahan adalah konsekuensi dari akumulasi politik transaksional yang dibiarkan selama bertahun-tahun.
Solusi tidak terletak pada darurat militer, melainkan pada reformasi konstitusional dan politik hukum. Ada beberapa langkah yang mendesak:
1. Pemangkasan tunjangan yang tidak rasional. Tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, Kasus tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan yang sempat menuai kritik luas, hingga akhirnya dicabut oleh Presiden, seharusnya menjadi pelajaran berharga agar DPR lebih selektif dalam menetapkan fasilitas. Rasionalitas dan akuntabilitas anggaran harus menjadi prinsip utama
2. Key Performance Index (KPI)/ Indikator Kinerja Legislatif yang transparan. Publik berhak mengetahui seberapa aktif legislator hadir dalam sidang, menyerap aspirasi, hingga menyusun undang-undang. Transparansi kinerja akan memperkuat kepercayaan publik bahwa mandat rakyat dijalankan secara serius, bukan hanya sekadar formalitas jabatan.
3. Prioritas pada legislasi pro-rakyat. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, misalnya, harus segera disahkan alih-alih ditunda terus-menerus. Penundaan yang berlarut-larut menimbulkan kesan bahwa kepentingan internal lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan rakyat untuk memperoleh instrumen hukum yang mampu mengembalikan aset hasil korupsi.
4. Kodifikasi hukum pemilu. merupakan langkah krusial untuk memperkuat integritas demokrasi. Penyatuan aturan pemilu dan pilkada akan menutup celah praktik politik uang, memperjelas sanksi, sekaligus mengurangi potensi manipulasi regulasi demi kepentingan elit. Dalam kerangka politik hukum, kodifikasi ini akan menciptakan sistem yang lebih konsisten dan meminimalisir ambiguitas interpretasi hukum.
5. Rekonstruksi politik uang (vote buying) sebagai tindak pidana korupsi elektoral. Selama ini, praktik tersebut kerap dipandang sekadar pelanggaran administratif dengan sanksi yang lemah. Padahal, secara substansi, vote buying merupakan bentuk korupsi terhadap mandat rakyat. Dengan memasukkannya ke dalam rezim hukum tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyadapan, penelusuran aliran dana, hingga penindakan terhadap partai politik yang terlibat.
6. Perkuat independensi KPK dalam RUU KUHAP baru. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang direncanakan berlaku tahun 2026 jangan sampai justru memangkas kewenangan KPK. Penyadapan, pelacakan aliran dana, dan operasi tangkap tangan harus tetap menjadi instrumen legal. Selain itu, KPK tidak boleh ditempatkan di bawah supervisi Polri ataupun Kejaksaan. Independensi absolut sangat krusial agar KPK dapat menindak korupsi elektoral tanpa intervensi kekuasaan eksekutif maupun kepentingan partai politik.[21]
Reformasi sejatinya merupakan jalan terbaik untuk mengembalikan DPR pada koridor konstitusi. Dalam sistem demokrasi, legitimasi tidak pernah lahir dari kekuatan senjata atau tekanan represif, melainkan dibangun melalui prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas. Dengan semangat itu, peringatan ulang tahun ke-80 DPR mestinya tidak lagi dikenang sebagai “kado buruk” yang diwarnai demonstrasi dan krisis kepercayaan, melainkan menjadi momentum refleksi dan titik awal bagi pembenahan politik hukum Indonesia.
Dalam dinamika demokrasi yang kerap penuh gejolak, aspirasi rakyat tetap perlu disuarakan dengan cara yang damai dan bermartabat. Menjelang aksi yang direncanakan pada 1 September 2025, penting untuk diingat bahwa perubahan sejati tidak lahir dari kekerasan atau provokasi, melainkan dari solidaritas serta kesadaran bersama. Karena itu, setiap warga yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum sebaiknya saling menjaga, tidak mudah terhasut, dan menempatkan keselamatan bersama sebagai prioritas utama. Demokrasi hanya akan menemukan maknanya jika ruang perbedaan dijalani dengan cara yang aman, tertib, dan beradab.
Sumber:
[1] https://nasional.kompas.com/read/2025/08/29/07460711/dpr-hut-ke-80-pada-hari ini-ini-sejarah-terbentuknya-parlemen-di-ri
[2] Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[3] Nurul Huda. 2020. “Hukum Lembaga Negara”.Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 60
[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20250830145726-4-662882/kronologi- demo-25-29-agustus-demo-dpr-melebar-jadi-amarah-ke-polisi
[5] https://video.kompas.com/watch/1872369/kronologi-tragis-affan-kurniawan-driver- ojol-tewas-terlindas-rantis-brimob-saat-antar-orderan
[6] https://www.detik.com/jateng/berita/d-8089090/daftar-nama-pejabat-yang- rumahnya-dijarah-massa-ada-sahroni-sri-mulyani
[7] https://www.tempo.co/hukum/tiga-orang-tewas-dalam-pembakaran-gedung-dprd- makassar-2064646
[8] https://news.detik.com/berita/d-8086562/31-polisi-terluka-akibat-ricuh-demo- dirawat-di-rs-polri
[9] https://nasional.kompas.com/read/2024/12/22/14533841/pkb-ppn-12-persen- disetujui-hampir-semua-fraksi-dpr-perdebatan-tak-perlu
[10] https://harian.disway.id/read/894942/banyak-anggota-dpr-diduga-kabur-ke-luar- negeri
[11] https://subang.pikiran-rakyat.com/subang-raya/pr-659614120/pernyataan-resmi- presiden-ri-pemerintah-tegas-lindungi-rakyat-tindak-pelaku-anarkis
[12] Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[13] Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
[14] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik).
[15] https://www.poskota.co.id/2025/08/31/apa-itu-darurat-militer-yang-trending-di-x- netizen-khawatir-pengulangan-sejarah-kelam-98
[16] Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
[17] M. Reza Saputra, Irwan Triadi, Taufiqurrohman Syahuri. 2024. “Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif HAM : Dilema Antara Keamanan Negara dan Hak Asasi Manusia”. Artikel dalam Jurnal: Jurnal Ilmu Hukum dan Tata Negara. No. 4. Vol.2. Hlm. 189
[18] Amran Suadi & Mardi Candra. 2016. “Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam serta Ekonomi Syariah”. Jakarta:Prenada Media. Hlm.385-386
[19] https://www.kompas.id/artikel/kepercayaan-publik-rendah-dpr-diminta-berbenah
[20] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[21] Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), draft pembahasan terakhir DPR, direncanakan berlaku mulai 2026.
Penulis : Muhammad Renaldy Maulana Anwar
Editor : Bawaslu Kabuapten Kapuas
